Padamu Damian, sesungguhnya aku tak ingin berandai-andai. Bahkan di dalam rindu yang begitu pilu aku sering kali mengingatmu, dalam lima belas tahun perpisahan ini. Namun keinginan terkadang berbeda dengan kenyataan yang sulit untuk dikendalikan. Perginya dirimu walau sudah berjarak lima belas tahun dari saat aku menulis ini sekarang masih begitu terasa. Teman bersahaja, musuh yang bijaksana dan manusia bebas, adalah dirimu. Mengimbangiku yang seringkali marah atas keterbatasanku.
"Maukah kau menghabiskan hidupmu denganku?" itulah kata-kata yang diucapkan Leo kepadaku saat kami berlibur bersama dalam sebuah acara liburan keluarga.
"Dan maukah kau menghabiskan hidupmu dengan seseorang yang tidak sehat sepanjang hidupnya?"tanyaku kepadanya. Leo hanya memegang tanganku. Tidak ada jawaban setelah itu. Berminggu-minggu kemudian, Leo datang meminta maaf sekaligus memberi kabar tentang pertunangannya.
Aku tak menangis di hadapannya, karena bahkan ia tak memberiku kenangan tentang bagaimana membangun jiwa. Aku sebenarnya memang tak benar-benar mencintainya, namun ternyata aku terpuruk. Bertambah parahnya sakitku adalah buktinya. Kadang begitu inginnya aku berdialog denganmu, bukan tentang kabar, bukan tentang kita, tapi banyak hal di dunia. Itulah yang membangunku, dan mungkin meneguhkann dirimu. Damian aku merindukanmu.
Malam setelah Leo datang memberi kabar menyakitkan itu, aku bermimpi. Damian datang memberiku mantel musim dingin di tengah gurun pasir yang panas.
"Nino" kau memanggilku.
Demi melihatmu saat itu, aku hanya bisa tersenyum lalu bertanya, "Kenapa kau bawa mantel musim dingin? Disini sangat panas."
"Nino akan memakainya"
"Tapi kenapa?"
"Karena Nino akan pergi ke tempatku."
"Apa maksdmu? Kau sekarang disini?" tanyaku kebingungan
"Nino akan membutuhkannya."
"Damian, memangnya dimana kau?"
Damian tersenyum lalu meneruskan, "Nino, pergilah membawa luka jika memang ia belum hilang.Luka akan terhapus udara. Berjalanlah seperti angin agar kau bahagia."
Damian pergi meninggalkanku sendiri, dan aku terbangun dengan penuh air mata.
Pagi itu pula, aku terbangun dan menuliskan surat. Aku mengundurkan diri dari tempatku bekerja. Leo melihatku dengan tatapan penuh rasa bersalah. Aku tersenyum padanya, menggelang dan berkata "It's ok Leo. I'm ok now"
"Tapi ada apa? Kenapa? Aku minta maaf Shasha. Semua adalah rencana orang tuaku."
"Tidak, ini bukan karena kau Leo. Mungkin kemarin aku terpuruk, bahkan sekarang pun masih terasa sakit. Tapi aku pergi bukan karena itu. Di sisa hidupku ini, aku ingin mencari Damian. Kau tahu kan,sahabat kecilku."
Leo mengerti, mendoakanku dan memberikanku pelukan perpisahan. Aku tak menangis sedikitpun.
Aku dipenuhi gairah . Aku tak peduli berapa lama waktuku untuk hidup bersama lambung yang terluka ini. Hanya Tuhan yang tahu itu. Aku hanya ingin kehidupanku kembali. Maka pagi ini, kuputuskan memulai perjalanan mencari Damian. Kukabari orang tuaku tentang rencana ini. Tentu mereka menolak, namun kuyakinkan dengan sepenuh hati.
"Mama, suatu saat jika aku berumur panjang, aku akan hidup dengan kenangan indah, semangat yang lebih menyala."
"Tapi kau sakit. Kanker di lambungmu perlu dirawat terus menerus."
"Aku akan merawatnya mama. Aku akan membawa obat."
"Lalu bagaimana jika kau tak bertemu Damian?"
"Aku akan kembali dengan cerita yang tetap indah karena perjalananku."
Mama memelukku, papa melihatku di sudut ruangan dengan mata berkaca-kaca. Tak ada orang tua yang tak sedih melepas gadis kecilnya yang walaupun telah menua pergi sendirian.
Hidup adalah tentang masa sekarang, aku tahu itu. Namun sebagian orang, memperoleh kekuatan dari kenangan. Dan kini, aku mencari kenanganku yang hilang. Hanya untuk memastikan, dia ada dan mengenaliku sebelum waktuku benar-benar habis dengan penyakitku.
*to be continued